Melahirkan 1

Sebetulnya rasanya sulit sekali mau menulis tentang melahirkan. Momen yang betul-betul luar biasa bagiku. Ya, momen yang sama sekali baru.

Cerita tentang melahirkan ini akan saya mulai dari sejak pulang dari mudik ke rumah mertua (January 2019). Sebab ini adalah saat-saat saya menyiapkan diri jelang melahirkan.

Mengandung anak pertama membuat saya begitu antusias mempelajari apapun untuk kebaikan janin. Saya yang sebetulnya kurang suka makan, memaksakan diri untuk mengatur menu harian dan berusaha makan lebih banyak porsi dari sebelum hamil. Kujaga asupan. Kupantau setiap hari. Per-asupan kucari tahu kandungan gizi di dalamnya. Saya ingin mempertahankan HB seperti saat tes ANC pertama 14,5. HB yang fantastis untuk Ibu hamil, katanya.

Tapi memasuki bulan ke tujuh kehamilan, semangat itu menurun. Keteraturan terasa membosankan. Saya mulai tidak disiplin makan dan mulai bosan mengasup makanan bergizi. Kopi menjadi teman sehari-hari. Dan saking semangatnya nulis juga jualan, saya kehilangan selera pada makanan. Apalagi kebiasaan toleransi pada rasa lapar mulai kuraskan kembali di bulan ke tujuh ini. Akibatnya jadi sering lemes.

Awalnya kupikir ini hal yang biasa dialami Ibu hamil tua. Apalagi kandungan semakin berat. Sempat terpikir untuk tes laborat, cek HB. Tapi ketika itu sekolah/komunitas sedang masa mempersiapkan ujian tugas akhir sebelum jelang liburan. Sedang tes ANC berada di jam-jam aktif sekolah. Akhirnya menunda menjadi pilihan.

Bulan ke tujuh hingga memasuki bulan ke delapan, kami dijemput mertua. Pertama diajak berlibur ke Jogja, kemudian mudik ke Tegal, ke kampung halaman suami. Di bulan tersebut selera makanku semakin menurun padahal mertua menyiapkan banyak sekali asupan setiap hari. Buah sayur bahkan camilan.

Ibu mertua akan buru-buru mencarikan jajanan kalau sepulang mengajar tak ada jajanan baru yang tersedia di depan TV. Katanya, Ibu hamil itu makannya harus banyak.

Apalah daya, selera makan begitu menurun dan tubuh semakin lunglai. Tidur tidak nyenyak karena perut semakin besar.

Sepulangnya dari mudik, kulakukan tes ANC atas saran bidan. HB anjlog,. Lingkar lengan kurang, BB juga kurang. Protein pada urin positif satu. Ulu hati terasa perih dan sesak.

Ingat hari itu harus bolak balik ke berbagai ruangan untuk tes dan konsultasi pada ahli gizi. Ah. Sembilan bulan tinggal hitungan minggu. Saya menyesal tak melakukan tes sedini mungkin ketika dokter mengatakan bahwa biasanya seseorang butuh waktu tiga bulan untuk bisa menaikkan HB.

HB rendah dihawatirkan akan mengakibatkan terjadinya pendarahan, bidan tidak berani menerima pasien bersalin dengan HB di bawah normal. Semangatku drop, kecemasanku naik, rasa sedihku meningkat. Saya sedih membayangkan rumah sakit yang menjadi kemungkinan tempatku bersalin.

Kuafirmasi si Janin agar ia mau diajak lahir di tempat yang kurencanakan sejak awal kehamilan. Gentle Birth Ibu Alam.

 ***
Kutata kembali asupan. Kupoll-kan ikhtiar untuk menaikkan HB. Konsultasi bidan, ahli gizi, dokter kandungan, sampai curhat ke komunitas Ibu hamil untuk menyimak berbagai pengalaman. Alhamdulillah dari pengalaman Ibu-Ibu, jadi lebih optimis meski kecemasan masih bergayut.
Banyak yang HB bisa naik dalam hitungan minggu bahkan hari.

Makin getollah saya berikhtiar menyiapkan berbagai asupan yang disarakan untuk menaikkan HB. Apapun kucoba. Kuasup sesering mungkin. Meski sebetulnya saya sudah pasrah, tapi tetap tak lepas berdoa agar HB bisa diatas minimal batas normal HB bumil.

Seminggu pertama ketika cek, HB malah anjlog. Otomatis semangat juga ngedrop. Sudah sebegitunya menjaga asupan HB bukannya naik malah turun. Hmmf entalah, saya berusaha tetap tenang dan lebih memperketat asupan. Masih berharap keajaiban yang mengantarkan HB menuju angka di atas minimal.

Dua minggu berselang, tes lagi. Alhamdulillah naik ke angka minimal. Masih ada waktu sebelum HPL. Saya berdoa sekaligus meyakinkan diri bahwa HB harus bisa mencapai target di atas angka minimal.

Menjaga ketenangan diri, melakukan aktifitas yang membahagiakan, memperketat asupan, latihan pernapasan dan menyimak IG bidan kita. Hal ini yang kulakukan sehari-hari jelang melahirkan.

Setiap ada khataman Qur'an di group muslimah mengaji atau ada gerakan shalawat, saya sisipkan doa khusus terkait jelang lahiran ini agar diamini oleh para anggota.

***

Seminggu sebelum melahirkan, diantar suami, saya melakukan USG. Janin sudah berada di posisi baik, air ketuban jernih dan cukup, singkatnya ia sudah siap lahir kapan saja.

***

Kontrol terakhir, dua hari sebelum melahirkan, Alhamdulillah BB naik (Terhitung naik 16 kilo dari sebelum hamil), kandungan protein urin negatif, dan HB mencapai 12.5 satu tingkat di atas batas minimal. Kata bidan, pasca melahirkan HB akan turun satu dari HB sebelumnya. Alhamdulillah target terpenuhi, setidaknya ketika nanti turun, HB turun di batas minimal bukan di bawah batas minimal.

Sebetulnya setelah mencapai target HB, ingin konsentrasi pada induksi alami. Bidan menyarankan beberapa induksi alami.

1. Berhubungan suami istri
2. Jalan cepat.
3. Naik turun tangga.
4. Minum jus nanas muda.
5. Makan kurma, kiwi
6. Pijat induksi.
7. Rangsang puting.
8. Pijat perineum.

Semestinya induksi alami sudah bisa rutin dilakukan begitu janin sudah matang untuk dilahirkan. Sayangnya karena begitu hawatir terhadap rendahnya HB, mengakibatkan jadi tidak terlalu konsen menyiapkan ini.

Malamnya setelah melakukan tes ANC dan dapat kabar gembira HB membaik, kontraksi sudah terasa.Semalaman saya merintih setiap kali kontraksi datang.

Jam tiga pagi, ketika hendak BAB saya mendapati darah keluar seperti mens. Ketika itu saya yakin bahwa detik-detik melahirkan semakin dekat.

Saya segera menginformasikan ke group khusus yang dibuat tim bidan Ibu Alam untuk mengawal persiapan melahirkan. Katanya sebelum ke klinik, perlu melakukan induksi alami lebih dulu selama kontraksi belum begitu intens.

Selepas subuh, mengiringi kontraksi, saya jalan pagi memutari lapangan. Lalu pesan jus nanas dan durian, nyamil kurma dan melakukan senam.

Kontraksi semakin intens, suami saya paksa segera mencarikan nama yang fix untuk anak kami. Satu nama laki-laki dan satu lagi nama perempuan. Ia memperlihatkan nama-nama yang ditabungnya. Tak satupun ngeklik. Hingga kemudian ia menemukan nama Haunan Salama, dan kusetujui dengan antusias.

Sejak awal kehamilan sudah terbayang satu nama di benakku Tsuroyya. Jadilah kami sepakat jika perempuan kami beri nama Tsuroyya Haunan Salama, jika laki-laki Armiya Haunan Salama.

(Bersambung)

Comments

Popular posts from this blog

Masa Pandemi 🥺

Gadget

6 Bulan Kehamilan