Selarik Cahya Dalam Bongkahan (Cerpen)

(Part 1)
Kalau ada orang-orang yang bercita-cita mengubah dunia, maka sudah pasti bukan diri Laila. Jangankan mengubah dunia,  mengubah nasib pun belum bisa ia lakukan.  Ia baru mampu berdamai dengan keadaan. 

Bertahun-tahun merasai hidup yang keras, didera rasa iri pada mereka yang kehidupannya nyaman dan stabil. Tapi kemudian usia mendewasakannya dengan penerimaan.

Di lubuk hati yang terdalam sebetulnya Laila bercita-cita menghafal Qur'an. Orang-orang dermawan biasa menawarkan biaya untuk mondok, bahkan ia bisa juga masuk dalam kategori santri dhuafa yang hanya perlu tinggal di pesantren.

Tapi apa daya, ia tentu lebih memprioritaskan membantu Ibunya menanggung kebutuhan hidup.
Ayah Laila meninggal saat ia berusia sepuluh tahun, tiga adiknya baru berumur setahun, tiga tahun dan enam tahun. Pukulan hebat menerjang kehidupannya ketika itu. Ia dan ketiga adiknya mendapat gelar Yatim dari siapa saja. Disantuni setiap Asyura, tapi diabaikan di bulan-bulan lain.
Sejak usia itu ia kerap membantu Ibunya berjualan gula jawa di pasar. Meski perempuan, sebagai anak pertama ia cukup memahami bahwa kelak ia-lah yang musti mengambil alih atau meringankan tanggung jawab sebagai tulang punggung keluarga.
***
Waktu itu betulan tiba. Laila yang tak punya keahlian apa pun selain menjahit, membuat gula jawa atau gula aren, pun bukan siswa pintar semasa sekolah sehingga lulus dengan nilai minim, memilih melamar di mini market milik Pak Haji Tohir.
Toko besar ini berdiri tak jauh dari tempat Ibunya berjualan gula aren, usaha yang ditekuninya bertahun-tahun tanpa peningkatan berarti.
Jadilah setiap pagi mereka sama-sama ke pasar mengikhtiari maisyah.
Dua adiknya usia SMP-SMA sekolah dan mondok gratis di Pasuruan.  Adik yang terakhir masih SD,  full dengan bantuan pemerintah.  Memilih sekolah dengan minim pengeluaran.  Yang penting punya aktifitas belajar.
Ibu Laila menyarankannya untuk menikah dengan Pardi,  juragan sayur yang naksir padanya.  Laila tak ada rasa dengannya dan belum mau berumah tangga.  Ia masih terngiang cita-citanya menghafal Qur'an.
***
Setiap hari, Ibunya pulang lebih awal, sebelum ashar.  Sedang Laila pulang selepasnya,  jam empat sore toko tutup.
Setelah seharian bekerja, ia biasa melepas penat di masjid At-Taqwa,  masjid terbesar di kotanya.  Berdampingan dengan pondok tua dengan ribuan santri.
Ia dulu mengikuti kegiatan kajian yang dibuka untuk masyarakat sekitar.  Ada kelas khusus untuk anak-anak muda belajar tentang ilmu syariat.  Kelas seperti ini tak dipungut biaya. Hanya butuh niat dan kesungguhan untuk mendapat cercah-cercah ilmu dari luasnya bidang keilmuan yang dipelajari di pesantren tua ini.
Setelah mengikuti Jamaah Ashar,  Laila biasanya memilih menyandarkan diri di tembok.  Dengan masih berbalut mukena,  ia simak penuturan Ustadz yang sore hari mengajar seluruh santri putri pesantren Al Hidayah.
"Hadiah terindah untuk orang tua kelak di akhirat adalah anak-anak yang menghafal atau mempelajari Qur'an sekaligus berusaha hidup dengan Quran,  lalu dengannya diberikan mahkota yang bersinar untuk kedua orang tuabya, " Pak Ustadz menerangkan. 
"Al Qur'an ini,  satu huruf lebih baik daripada dunia seisinya, "
"Orang yang sering berinteraksi dengan Qur'an akan memperoleh derajat yang tinggi."
"Rumah yang di dalamnya dibacakan Qur'an akan diberi keberkahan dan kebaikan.. "
Siraman yang mengguyur seluruh rasa lelah Laila.  Bulir air mata menggenang,  menengok dari pintu masjid dengan tatapan sedih sekaligus turut senang menyaksikan ratusan santri putri berbalut mukena, menyimak baik-baik dorongan motivasi dari ustadznya di serambi masjid. 
Ia membayangkan jika saja seumuran mereka dan diberi kesempatan mereguk ilmu tanpa terbebani dengan kebutuhan hidup pastilah dahaganya terpenuhi.
Kemudian,  buru-buru ia seka keluhnya.
Lantas ia teringat dua adiknya,  Anam dan Mansur yang tengah menimba ilmu di pondok dan sekolah gratis milik Habib Yasin Alydrus.
Anam memilih konsentrasi mempelajari kitab.  Sedang Mansur yang lebih muda, mengikuti saran kakaknya untuk menghafal Qur'an sembari tetap belajar ilmu syariat.
Pada Habib,  ia kerap mengucap terimakasih atas segala bimbingan sekaligus pendanaan untuk adik-adiknya.  Betapa luar biasanya keluasan rezeki yang Tuhan berikan pada beliau yang kemudian dimanfaakan untuk menggandeng sebanyak mungkin orang mengidupkan ajaran agama.  Sungguh aplikasi syukur yang tak tanggung-tanggung.
"Jangan sia-siakan kesempatan emas ini Le.  Mbak dulu sejak SD harus bekerja buat hidup kita,  buat kebutuhan kalian, Mbak nggak punya kesempatan seperti kalian." Pesan Laila pada adiknya ketika keduanya diantarkan ke pondok.
Anam dan Mansur secara bergantian menyucup tangan Laila yang kasar.  Merasa beruntung memiliki kakak yang meski secara materi begitu minim, ilmu pun dangkal untuk mengajari adik-adiknya,  tapi getol mencarikan berbagai peluang untuk membiarkan masa emas mereka terisi dengan ilmu dan aktifitas belajar yang intens. 
"Kalian jangan sedih,  Mbak ndak merasa gagal selama kalian sungguh-sungguh di sini. Mbak bersyukur bisa bantu Mamak. Mbak cuma kasih PR kalian untuk menyempatkan menyatat apa saja yang kalian dapat di sini.  Biar kalau kalian pulang Mbak juga bisa ikut belajar, "
"Semoga kami bisa jaga amanah ini Mbak, "
"Aamiin..  Di sini ikuti aturan,  taati Habib Kyai, jadilah rajin dan ndak perlu tertuntut untuk menjadi santri yang serba wah. Punya cita-cita apapun silakan saja,  tapi yang Mbak ingin pesan, prioritaskan ngaji yang baik  niati mengisi masa muda dengan perkara baik, "
***
Laila kemudian tersenyum, turut berbahagia melihat kesempatan para santri putri menempa diri di pondok tua itu.  Ia berdoa Tuhan memberinya kesempatan menikmati keindahan Qur'an,  entah dengan cara apa pun. 
Ia berharap di tengah kehidupannya yang serba terbatas ia masih memiliki peluang memberikan selarik makna.
***

Ratusan santri berhamburan.  Cahaya jingga meruah di angkasa.  Lampu-lampu masjid  satu persatu dinyalakan takmir. Lantunan surah Luqman mengudara. Laila mengenali ayat-ayatnya meski tak hafal secara purna. Ia dan barangkali penduduk sekitar cukup akrab dengan ayat-ayat yang diperdengarkan saban setengah jam jelang maghrib. 
Biasanya jelang maghrib begini,  Laila bergegas pulang setelah menyimak kajian pondok. 
Tapi tidak untuk kali itu,  ia menghentikan langkah ketika sampai serambi dan tidak sengaja mendengakan percakapan santri putri dan lima remaja perempuan yang barangkali bukan santri.  Mereka tak mengenakan mukena.  Tiga orang mengenakan gamis,  dua diantaranya mengenakan jins dan atasan tunik.  Jilbabnya terulur sampai dada semua meski tidak terlalu besar.
"Ahad depan kita baru bisa mulai kelas tahfidz umumnya nggeh. Bisa ajak siapa saja yang mau. Mau usia berapa saja," sayup-sayup suara santri putri berwajah putih cerah agak semburat merah jambu itu,  terdengar. 
"Baik,  Kak.. " mereka menyahut. 
Risa mendekat, mengucap salam.  Keenamnya menjawab bersamaan.
"Perkenalkan saya Laila.. " Laila menyalami semuanya.
"Maaf kalau tadi saya menguping.  Saya dengar mau dibuka kelas menghafal? " Laila bertanya setelah duduk sejajar dengan perempuan di hadapan santri tadi. 
"Iya, Dek, " Mbak di depannya menjawab sambil senyum. Lesung pipinya dalam.  Nampak di wajahnya seperti tak memiliki pori-pori.
"Apa saja syaratnya?"
"Tidak ada syarat,  Dek, ikut saja.  Jam sembilan pagi di serambi ini ya? "
"Ada ustadznya atau bagaimana Mba? "
"Nanti ada yang menyimak dan mengarahkan, "
"Mbaknya namanya siapa?"
"Saya Mahira Mba, "
"Ini putri Mbah Yai yang terakhir," salah satu dari remaja bergamis menjelaskan.
"Owalaaaah... " Laila sumringah. 
Setelah itu mereka sedikit ngobrol santai berkenalan.  Dua remaja bertunik bernama Anita dan Winda.  Tiga yang bergamis bernama Sarah,  Zalikha dan Zainab.  Ketiganya dari perumahan kota.  Katanya mendapat informasi dari teman kelasnya yang kebetulan santri Ayah Mahira.
Putri terakhir Kyai Hannan ini baru saja menyelesaikan pondoknya di Kudus.  Ia memulai langkah pertama di medan dakwah dengan membuka kelas umum untuk siapa saja yang minat menghafal, free.
Mahira menjelaskan,  bagi yang mau menghafal akan dites dulu bagaimana bacaan Qur'annya.  Yang perlu pembenahan akan melewati tahap latihan baca sampai dirasa cukup untuk memulai.
Ada angin segar petang itu,  ketika cahaya langit meredup, adzan maghrib berkumandang,  santri-santri berduyun-duyun lagi mencari shaf-shaf. 
Laila tak jadi pulang,  ia memilih menunggu jamaah maghrib sekalian. Merasai ada dahaga yang pelan-pelan menemukan muara telaga.  Sudah lama rasanya ia mendamba ada uluran untuk orang-orang sepertinya.  Yang haus ilmu tapi kesulitan akses.
Sebelumnya pesantren ini hanya memfasilitasi orang-orang yang ikut kelas-kelas di madrasahnya.  Belum ada kelas general semacam ini sehingga terasa sungkan bagi sekitar untuk menikmati cercah-cercah ilmu di dalamnya.

Berikutnya yang Laila pikirkan,  bagaimana nantinya ia berproses di tengah kesibukannya menjadi bagian dari tulang punggung keluarga.  Bagaimana membagi waktu dengan setumpuk pekerjaan rumah lain.

***

"Apakah saya pantas menghafal Qur'an Neng? "
Laila bertanya pada Mahira pagi itu sebelum kelas Qur'an untuk umum dimulai.
"Lha memangnya kamu pikir Qur'an diturunkan untuk siapa kalau bukan untuk didekati seluruh umat kanjeng nabi?" Mahira tertawa ringan.

"Iya sih, tapi pasti beda ya kualitas hafalan saya dengan kawan-kawan di sini.. "Entah kenapa Laila jadi disergap rasa minder meski antusias.

"Jangan membanding-bandingkan, Dek. Allah pasti menilai usaha seseorang kok. Apalagi kamu harus bekerja, membantu Ibu, masih diberi anugerah niat mendekati Qur'an lewat menghafal, itu keberuntungan, " Mahira menyemangati, sebelumnya Laila memang banyak berkisah soal kehidupannya pada Mahira.

"Nanti ada target ngga Neng? "
"Endak, beda sama santri sini, karena ini kelas umum, kata Abah biarkan berjalan dengan atau tanpa target. Seleluasanya, selonggarnya, sedapatnya, biar pun sehari satu ayat yang penting muncul kecintaan pada Qur'an..."

Clesss

Hati Laila seperti diceburi balok-balok es setelah sebelumnya panas oleh was-was. Malam sebelumnya ia memulai hafalan dalam situasi tubuh yang lelah setelah seharian bekerja.
Tapi sulit sekali merangkai lafadz per lafadznya menjadi satu kesatuan utuh. Ia sanksi pada kemampuan dirinya jikalau nanti diajukan target yang harus dipenuhi.

***
Rupanya kelas umum ini diikuti sekitar lima puluhan orang dengan berbagai latar belakang. Rata-rata jamaah pengajian Abah Yai dari beberapa daerah. Tak jarang yang sudah berusia paruh baya, meski banyak juga remaja putri atau muda-mudi.

Abah Yai memberikan sambutan sekaligus wejangan untuk penyubur semangat. Memapar tentang luar biasanya mukjizat nabi akhir zaman ini.

"Qur'an adalah poros segala kebaikan. Bukan hanya isinya yang mengandung banyak pelajaran dan petunjuk, lafadz-lafadznya pun mengandung begitu banyak kebaikan dan keistimewaan.

Quran semestinya dijadikan prioritas bagi orang beriman di tengah apa pun kesibukannya. Dicintai, disahabati, dipelajari sehingga selain menjadi kawan setia juga menjadi pelita hidup.

Beruntung orang-orang yang meresapi keistimewaan Qur'an, lalu mendekatinya dengan cara apa pun. Tidak harus mondok, tidak harus muda. Siapa saja yang menjadikannya bagian dari prioritas hidup, Insya Allah akan diliputi keberkahan, perlindungan, dan tidak akan masuk golongan orang yang kelak diadukan oleh Qur'an di pengadilan akhirat sebab melalaikan.

Semoga Qur'an bukan saja menjadi pembahagia, pelipur, dan pelita di dunia tapi juga menjadi sahabat, kawan serta pelita kelak di dalam kubur dan pembela kelak di pengadilan akhirat-Nya."
Udara terasa sejuk pagi itu, angin menghembus pelan menerpa jilbab Laila ketika hatinya seperti sedang diajak menyelami telaga.

Penuturan Abah Yai menambah percik-percik semangat dalam kalbunya. Betapa ia memimpikan susana Qur'ani yang syahdu semacam ini.

"Kalau saya Bu, usia sudah tua begini saya niati untuk membersihkan dosa lahir batinku, " Seorang Ibu paruh baya berbisik pada kawan di sampingnya.

Laila mendengar, seketika batinnya tersengat, haru. Ia melihat semangat yang menyala dari semua yang hadir. Masjid terasa bertabur cahaya. Perasaan Laila nyaris tak pernah sedamai ini.

Tak berapa lama setelah Kyai memberikan nasihat, kelas-kelas dibagi ke ruang-ruang madrasah. Ada beberapa tingkatan. Mulai dari kelas khusus belajar baca, kelas memulai hafalan, sampai kelas memperdalam hafalan.

Ada satu kelas fleksibel. Ini kelas hafalan untuk orang sibuk. Laila ikut di dalamnya. Bukan karena merasa sibuk, lebih karena ia paham daya hafalnya begitu lemah dan ia membutuhkan program yang sangat lentur.

Sebelum kelas dibagi, sudah lebih dulu dijelaskan bagaimana kelas-kelas ini nantinya akan berjalan. Dari penjelasan tentang kelas fleksibel ini, Laila menyimpulkan barangkali dirinya lebih cocok di kelas ini. Tidak ada target, tidak dituntut banyak, dapat sedikit pun bukan masalah.
Hari pertama, kelasnya membahas tentang metode menghafal, cara membagi waktu dan bagaimana menikmati proses menghafal.

Ketika Laila menanyakan tentang kesulitannya menghafal, Mahira yang dipilih menjadi pemegang kelas memberikan suntikan motivasi.

"Qur'an ini dijanjikan akan mudah dihafal bagi yang berusaha mengingatnya. Dihafal berulang- ulang, seberapa pun jumlahnya, Insya Allah akan menemukan titik lancarnya. Artinya meski yang dihafal hanya sedikit, tapi dijaga berulang-ulang, Insya Allah akan terjaga dengan baik.
Tidak harus sekaligus banyak, seberapa pun dapatnya yang terpenting dijaga baik-baik dengan terus mengulang-ulang apa yang sudah dihafal setiap hari.
Nanti akan kami kenalkan metode-metode untuk mempermudah hafalan "

Ada sepuluh orang yang tergabung di kelas fleksibel. Tujuh diantaranya Ibu-ibu beranak, hanya Laila dan dua kawan lain peserta mudanya.

Mahira memberikan mushaf khusus menghafal pada semua anggota. Selain ada panduan tajwid, ada juga kotak-kotak bantu menandai hafalan. Ada kandungan surah setiap dua halaman, dan ada pancingan lafadz ayat awal untuk memudahkan proses menghafal.

***
Laila patrikan terus pesan-pesan Abah Yai. Sebegitu istimewanya Qur'an untuk manusia, yang memang semestinya menjadi bagian dari prioritas hidup.

Prioritas hidup Laila tidak banyak. Bisa dibilang yang paling menyita hanya satu, mengusahakan dapur mengepul dan adik-adiknya mendapat uang jajan dengan ia menjadi buruh mini market.
Dia yang dulu saat SMK memilih jurusan tata busana, belum memiliki akses mengembangkan dirinya kecuali tawaran-tawaran disalurkannya ke pabrik-pabrik atau butik-butik luar kota. Ia tentu tak bisa meninggalkan Ibunya seorang diri mengurus adik bungsunya.

Hal realistis yang kini ia hadapi adalah menjalankan pekerjaan yang ada dengan rasa legowo.
Dalam dirinya tentu ada mimpi-mimpi kecil lain berkenaan dengan tata busana, tapi sementara ia mau menikmati jalan yang ada sambil mengindahkan hari-harinya yang sempat terasa getir dan hampa, dengan melekatkan diri pada Qur'an.

***
Ia bawa Qur'an dalam tas mungilnya saat berangkat kerja pagi itu. Hatinya berbunga-bunga merasai suasana baru dalam nadi semangatnya.

Sebelum subuh, ia berhasil menghafal kaca pertama juz ke tujuh. Juz-juz sebelumnya sudah pernah ia hafal, jadi tinggal diulang-ulang untuk ikhtiar menjaga.

Ingat nasihat Abah Yai, berapa pun dapatnya, harus berusaha dijaga.
Ia atur jadwal kapan ia dalam kondisi fresh menghafal, kapan kondisi yang pas untuk mengulang hafalan, kapan ia bisa mengisi waktu melancarkan, dan ia tetap memiliki program mengkhatamkan Qur'an. Jadi tetap ada satu waktu yang ia sempatkan untuk membaca Qur'an seraya melihat mushaf.
Mini market kadang sepi di jam-jam tertentu, waktu jeda ini yang akan digunakan Laila melancarkan hafalan. Sambil membawa note kecil untuk menyatat bagian mana yang terasa sulit diurai dalam kepala.

Ia menikmati proses ini meski dengan daya yang terbilang super lambat. Ia harus mengulang-ulang satu halaman lebih dari 30x untuk sampai bisa selancar QulHu.
Ia ingat lagi pesan Abah Yai, "Jangan merasa putus asa, selagi belum coba kau ulang-ulang seribu kali."

Ia tak tahu kelas fleksibel, atau program baru ini akan bertahan hingga kapan. Meski tentu ia berharap program ini akan terus ada seperti halnya pondok tua yang bertahun-tahun berdiri dan konsisten dengan program-programnya.

Tapi dari semangat yang ditularkan simbah Yai ia menasihati diri untuk mendekati Qur'an dengan minim ambisi.

Ia tata niat sesuai yang diajarkan simbah Yai. Bahwa ia ingin hidup bersama Qur'an, berharap kelak dijadikan bagian dari ahli Qur'an sekalipun di rombongan paling belakang, dan dosa-dosanya digugurkan dengan berkah Qur'an.

Ia tak punya patokan waktu harus khatam kapan, ia tak mengarap gelar, ia tak butuh pengakuan orang, ia tak butuh citra. Yang paling urgen di benaknya kini adalah bagaimana dalam hidupnya yang serba getir, ada oase yang membahagiakannya, menghapus seluruh rasa pedih dalam hatinya dan menjadi bagian dari perjalanannya seumur hidup.

"Ahli Qur'an adalah Ahli-Nya.. " ucapan Abah Yai terngiang-ngiang bak mengirama dalam kalbunya, memecuti semangatnya.
***
(Bersambung)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Masa Pandemi 🥺

Gadget

6 Bulan Kehamilan