Hati Yang Dibalut Doa Ibu (Cerpen)


~~~
  
“Iya Aya, saya menyukaimu...”

Fandi, ketua Osis SMA Aya, menyatakan perasaan ketika Aya sedang merajut bunga di kelas untuk persiapan pentas seni sekolah.

Setelah sebelumnya melakukan prolog panjang. Membicarakan tentang  cita-citanya, membicarakan kekagumannya pada Aya, Fandi menyampaikan maksud hatinya sesantun mungkin.

Maryam menyenggol-nyenggol lengan Aya ketika sahabatnya memilih menunduk menyembunyikan berbagai kecamuk. Ah sebetulnya ia sudah menaruh hati pada kakak kelasnya itu sejak awal masuk sekolah. Diam-diam ia memperhatikannya. Tapi apalah daya, wajah marah Ibunya terbayang terus setiap kali ia memikirkan laki-laki. Hanya kilas bayang-bayang Ibu yang tidak rela anaknya merenda asmara di usia dimana ia belum siap menikah, sudah cukup mengalihkan perasaannya.

“Nanti malam aku tunggu jawabanmu di Kafe Mayang sari, sebelah barat alun-alun,” Fandi menngakhiri obrolan siang itu.

Duh Gusti! Sependek pengalamannya, itu kafe teromantis yang pernah Aya tahu. Suasananya agak remang-remang. Dikitari lampu-lampu warna-warni di bagian tembok-temboknya. Lampu-lampu kuning berjuntaian di atas. Beberapa lukisan pemandangan terpajang di berbagai sisi. Lalu lagu-lagu romantis biasa mengalun jika malam.

Nyaris seharian Aya membayangkan keromantisan itu. Membayangkan sosok Fandi dengan segala pesonanya, memperlakukannya secara romantis layaknya pasangan-pasangan muda yang melakukan kencan pertama.

Ia terpikir akan mengenakan gamis merah marun dengan jilbab senada. Lalu dengan malu-malu ia mau menjawab “Aku juga menyukaimu, Kak.” katika Fandi kembali menyatakan perasaannya di bawah taburan bintang, di hadapan lilin remang-remang, di kafe bagian taman.

Barangkali tidak apa-apa sekali dalam hidupnya, ia melakukan ini. Ia ingin sekali saja merasakan menjadi remaja normal pada umumnya. Merayakan perasaannya sendiri. Lebih-lebih perasaan itu bersambut dengan manis tanpa ia susah payah mencari perhatian. Bukankah masa muda tidak akan kembali dan betapa sayangnya jika momen seperti ini dilewatkan?

Aya meraih Hp di atas bantal. Berniat menghubungi Fandi diam-diam untuk menyetujui permintaannya. Ia akan ganti nama Fandi dengan Fani, agar Ibu tidak curiga. Pesan-pesannya juga akan ia delet jika urusannya selesai.

Baru ia scroll kontak di layar, bayangan Ibunya berkelebat. Hatinya seketika berdebam. Ingat serangkaian nasihat Ibunya tentang urusan jaga hati dan jaga diri.

Ibu sering menasehati perihal dosa. Jangankan beromantis ria ketemuan lalu berduaan , hanya berikirim pesan pada laki-laki non mahram membahas perasaan pun sudah masuk kategori dosa.

Aya merasa ngeri sendiri. Kemudian membayangkan bagaimana jika kelak bukan Fandi jodohnya? Ada perasaan tidak adil untuk jodohnya kelak.

Ia menuju kaca, melihat kain biru yang membalut kepalanya. Ia menangis, merasa bahwa balutan itu semestinya menjadikan jati dirinya sebagai muslimah juga berefect pada karakternya. Jika ia pergi malam itu, berduaan dengan laki-laki, bukankah sama saja ia menodai harapannya sendiri yang ia tanam sejak memutuskan berhijab?

Aya membenamkan wajah di ranjang. Hatinya perih seketika. Gejolak remaja yang membuncah, dan keinginan untuk tidak melihat Ibunya berduka ditambah rasa takut berdosa menggedor-gedor kepalanya, membuat ia begitu kalut.

“Maaf Kak, saya tidak bisa memenuhi undangan Kak Fandi ke kafe. Saya hargai perasaan Kak Fandi, tapi tolong jangan ganggu saya lagi. Saya mau fokus belajar...” ia kirimkan pesan.

***
Tahun berganti, ia kuliah, ritme Ibunya masih sama. Posesif dan amat protect pada Aya. Masih sama seperti ketika Aya belia, Ibu sering menasehatinya untuk menjaga diri hingga Aya lulus kulian dengan predikat cum laude.

Selepas kuliah Aya bekerja sebagai HRD di sebuah perusahaan. Meski ia berusaha humble dan berusaha hangat, tentu sikapnya agak jaga jarak dengan kawan laki-laki membuatnya sering terlihat kaku dan dingin.

Dua tahun bekerja, usianya sudah cukup matang untuk menikah. Ini tantangan baru untuk Aya. Sebab Aya tak pernah betul-betul mengenal dekat laki-laki mana pun. Ia hanya kenal sebatas teman kelas, teman organisasi, teman kerja, atau diam-diam sebatas mengagumi seseorang.

***

Suatu sore, sepulangnya dari kerja, Aya mendapati sepeda motor terparkir di halaman rumahnya. Sepatu hitam pekat tergeletak di depan teras. Ada tamu.

Aya masuk dan terkejut melihat Rahman. Kakak tingkat ketika kuliah. Ketua BEM yang terkenal sangat aktif di kampus dan sangat alim. Ia mondok sejak SMP lalu mengabdi di ndalem atau rumah Kiai sejak lulus SMA. Kiai-nya yang membiayai kuliahnya.

Sama seperti pada Fandi yang ia kagumi secara diam-diam saja. Rahman adalah laki-laki yang juga secara sembunyi-sembunyi ia kagumi. Ia perempuan normal yang tentu bisa simpati pada siapa saja yang memiliki keluhuran budi, lebih lagi ditambah kecerdasan dan kaktifan. Tapi apalah daya, ia sudah bertahun-tahun berada dalam protect Ibunya. Tidak berani melanggar sekali pun hanya merespon hatinya sendiri.

Baginya, Rahman adalah menyemangat semasa kuliah meski jurusan mereka berbeda. Aya psikologi dan Rahman mengambil Ilmu Bisnis. Tapi ia kerap mengikuti kegiatan yang diadakan Rahman. Membuka rumah belajar di kampung Singosari, membuka taman baca untuk anak-anak sekitar kampus, melatih usaha Ibu-ibu muda berbagai desa, dan lain-lain.

Diam-diam pula Aya selalu berdoa agar memiliki imam hidup sepertinya. Imam yang tidak hanya memperhatikan pendidikan dunia tapi juga sangat fokus memperhatikan ilmu agamanya. Tidak hanya terkonsentrasi pada pelajaran teks, tapi juga memiliki kiprah yang baik untuk masyarakat. Singkatnya, ia ingin memiliki sosok Imam yang bisa membersamainya belajar dan tumbuh dengan baik.

“Sini Aya, duduk samping Bunda...” pinta Ibu setelah Aya mengucap salam dan masuk rumah dengan perasaan gemetar tak karuan. Tangannya panas dingin. Debarnya sulit diatur. Ia tidak berani melihat Rahman yang duduk di samping Ayahnya.

Ini untuk pertama kali Ibunya mempersilakan ia duduk untuk berhadapan dengan laki-laki, di rumahnya sendiri. Kesempatan yang baginya begitu asing.

“Ini Rahman, mungkin kamu sudah kenal karena satu kampus denganmu dan beberapa kali katanya jadi tim di kegiatan ekstra. Dia bermaksud meminangmu,”

Deg!

Hati Aya berdesir hebat. Ia adalah laki-laki yang terlalu sering memenuhi doa-doanya, tapi hanya berani ia dekati dengan mengikuti berbagai kegiatannya tanpa ada keakraban yang berarti. Ini laki-laki yang ia kenal tak pernah ada cerita memiliki hubungan dengan perempuan mana pun. Sikapnya pada kawan perempuan pun amat ia jaga. Sangat terasa sekali, interaksi yang ia bangun sebatas kerjasama, sebatas muamalah.

Ia tak mengira, Rahman diam-diam memprospek dirinya. Perempuan yang sejak remaja terkungung dalam prinsip Ibunya terkait hubungan dengan lain jenis.

“Ya Allah... “ Desisinya pelan. Air matanya hendak tumpah. Dadanya sesak.

Ia ingat kata Ibunya di masa lalu,

“Aya, bagi perempuan yang menjaga dirinya baik-baik, maka yang tertarik padanya pun adalah laki-laki yang seperti itu, kamu jangan hawatir. Insya Allah akan disediakan bagimu sosok laki-laki yang juga menjaga dirinya,”

Berurai air mata Aya. Ia tidak bisa menguasai rasa haru yang ada pada dirinya. Ia mengingat semua beban berat yang selama ini ia tahan. Perjuangannya menjaga perasaan, perjuangannya menjaga hati Ibunya, dan berbagai silih bergantinya waktu ia memerangi perasaannya sendiri.

“Bagaimana Aya?” Rahman bertanya hati-hati.

Aya mengangkat wajahnya dan melihat wajah Rahman yang sembab, mungkin merasa bersalah atas respon Aya.

“Saya...” Aya melihat Ibunya.

“Kalau ini, Bunda setuju.”

Aya tersenyum, memeluk Ibunya dan menangis.

“Aya menurut, Bun,” nafasnya tersengal.

Ibu melepaskan pelukan, menggenggam pundak Aya, menatap matanya,

“Kali ini kamu yang putuskan. Kalau kamu tidak mau, Bunda dan Ayah tidak masalah.”

Aya menatap Rahman.

“Iya Aya, saya juga tidak memaksa. Santai saja ya. Ini hanya upaya ikhtiar untuk mencari jalan berjodohan. Kalau iya saya sangat senang, kalau tidak ya tidak apa-apa. Mungkin bukan jodoh saya.”

Aya menunduk, menghapus air mata, menenangkan diri.

“Aya sudah lama menyukai Kak Rahman. Aya bersedia menjadi teman hidup Kak Rahman jika Ayah dan Bunda merestui.”

“Alhamdulillaaaaaah,” Rahmah, Ayah dan Ibu mengucap syukur bersamaan.

***
Rasanya segala terik itu telah sirna dan tak berbekas apa-apa. Gejolak perasaan yang ditahannya bertahun-tahun, usahanya menjaga diri bertahun-tahun dan keputusannya untuk tidak berpacaran, sama sekali tidak menyisakan ruang penyesalan dalam diri Aya.

Ia merayakan perasaannya dalam ikatan halal, dalam naungan restu kedua orang tua. Digenggam sosok yang disahkan untuknya. Dibersamai sosok yang menjadi impiannya.

Tak ada masa lalu yang berat untuk dilupakan, tak ada cerita lama yang membekas dalam hatinya, tidak ada laki-laki lain yang sungguh-sungguh ia cintai, seperti kedalaman rasa yang ia los-kan untuk lelaki yang dipilih-Nya menjadi imam dalam hidupnya.

Comments

Popular posts from this blog

Masa Pandemi 🥺

Gadget

6 Bulan Kehamilan