Pencuri Itu Membuatku Menangis

"Maling.. Maling... " Gemuruh suara di luar mengagetkanku malam itu ketika aku bersiap pulang dari villa. 

Aku tengah membereskan beberapa berkas kerjaan dan buku-buku untuk persiapan kuliah besok. 

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Beberapa karyawan yang kerja di villa sekaligus kantor produksi gamis butikku baru saja berkemas. Mereka ada lemburan hingga pukul sembilan malam. 

"Mba Rania, di luar lagi rame banget," Silfi memberikan informasi sambil tergopoh masuk ke ruanganku. 

"Katanya ada maling ayam di perkebunan belakang kita,"

"Ha??" Aku terbelalak kaget. Tak kusangka sumber keributan itu dari kebun belakang villa. 

Aku segera berlari bersama Silfi, Ambar, dan Risa. Penasaran apa yang terjadi sebenarnya. 

Sampai di belakang villa kulihat beberapa warga berkerumun. Sejurus kemudian, kulihat seorang laki-laki lebam habis dikeroyok. 

"Ada apa ini pak, ya Allah, " Pekikku. 

Baru tiga hari ini aku menempati villa untuk menambah cabang kantor rumah produksi beberapa bisnisku. Aku belum begitu mengenali warga sekitar. 

"Ini lho Mb, warga desa baru, nekat nyuri ayam sama ubi sekarung milik pak Hendra,"

Pak Hendra adalah Ayahku. Dulu memang rumah ini ditempatinya sembari Ayah mengembangkan usaha kebunnya. 

"Ya Allah.. Kenapa babak belur begitu?"

Aku tahu warga sini begitu menghargai Ayahku karena kebaikannya, tapi yang mereka lakukan untuk membela, kurasa bukan hal tepat. Main hakim sendiri, sedang aku pemiliknya saja belum tahu duduk perkaranya. 

Tindakan mencuri memang bukan hal baik, jadi aku mengucap terimakasih atas perhatian mereka, namun aku meminta pak Sardi penjaga villaku untuk membawa lelaki itu ke dalam rumah. 

Pak RT dan beberapa petugas ronda yang baru saja tiba, turut serta. Sedang warga lain kembali ke rumah masing-masing membawa spekulasi yang entah berantah. 

"Ini warga baru di sini, Mbak. Pak Eko. Jadi warga lain belum banyak yang kenal, "Terang pak RT setelah kami sama-sama duduk di ruang tamu. 

Sebentar kemudian Lasmi membawakan suguhan teh hangat dan roti isi keju untuk menemani percakapan. 

"Saya terpaksa mencuri Bu, karena besok anak saya harus ikut study tour. Semua wajib ikut serta sedang saya sedang tidak punya uang sepeser pun, tidak ada yang mau saya pinjami. Buat makan pagi saja saya belum tahu harus bagaimana, "

Terang Pak Eko sambil menundukkan wajahnya usai memperlihatkan kami pengumuman di group sekolah anaknya. 

Seketika aku menangis pilu, aku tahu yang dilakukan bapak ini salah, tapi mengetahui motifnya adalah untuk anak, rasanya hatiku hancur. Perasaan bersalah jauh mendominasiku. 

Apalagi sejak kecil, Ayahku mendidikku tentang welas asih. 

Ayahku sosok pekerja keras yang beberapa bisnisnya moncer. Cabang dimana-mana. Tabungannya banyak. Namun hasilnya tidak hanya untuk dinikmati sendiri melainkan banyak untuk urusan kemanusiaan. 

Di kampung asli kami, Ayah memiliki kedai gratis untuk siapapun yang membutuhkan makan. Yang datang kadang tidak hanya warga dhuafa, ada juga orang berada yang kepepet harus mendapat makanan ketika kondisi darurat. Namun selepas itu mereka ikut berdonasi untuk keperluan kedai. 

Lebih lagi warga dhuafa seperti pak Eko yang esok mau makan apa saja masih berpikir keras. 

Dalam pikiran Ayahku, tak boleh ada tetangga yang kelaparan dalam menjalani hari-harinya.

Ayah juga membuka jasa sistem kredit untuk kendaraan dan beragam perabot rumah dengan harga terjangkau dan tidak menambah jumlah harga dalam cicilan. Harga cash dan kredit, harga sama. Kadang juga masih dipotong harganya. 

Ayah pun membuka sistem peminjaman uang yang terstruktur baik, tanpa bunga. Khusus warga setempat agar mudah koordinasinya. 

Begitulah, Ayah mendidik untuk mengutamakan kemanusiaan. 
###

Jadi, persoalan ayam ini seketika membuatku terpukul. Aku menangis sejadi-jadinya. Meminta maaf pada pak Eko, sebagai tetangga saya tidak cepat tanggap. 

Orang seperti pak Eko ini kalau oleh Ayahku pasti sudah bisa terdeteksi. Diberi bantuan tanpa diminta. Diberi bantuan tanpa harus menunggu ia mencuri seperti ini. 

"Risa, tolong ambilkan tasku di kamar ya," Bisikku pada salah seorang karyawan, sebelum kuteruskan obrolan dengan Pak Eko dan lainnya. 

Pak Eko bercerita berbulan-bulan tak ada kerjaan. Istri sedang sakit lambung di rumah, belum sanggup membawanya ke rumah sakit. 

"Ini Mba tasnya," Risa tiba. Segera kuambil dompet dan kuserahkan lima belas lembar ratusan ribu ke pak Eko. 

"Ini untuk keperluan di rumah dan untuk study tour anak bapak yah. Ini nanti biar bapak diantar Ujang sopir saya untuk berobat ke rumah sakit biar lebamnya diobati."

"Ya Allah buu maturnuwun sanget, saya terima ya bu. Semoga Allah membalas kebaikan Ibu,"

"Besok saya datang ke rumah ya Pak setelah kuliah. Kita periksakan istri bapak ke rumah sakit. Semua saya tanggung ya Pak."

"Ya Allah bu.. " Pak Eko menangis. 
"Oiya, kalau Pak Eko berkenan, pak Eko bisa bekerja di kebun saya."

Ia tambah menangis. Mengucap terimakasih berkali-kali meski bagiku itu takperlu, karena itu memang kewajibanku sebagai tetangga barunya yang diberi Allah kelebihan dalam harta. 

"Pak RT mohon dikondisikan warganya ya Pak agar berita tadi malam tidak dibahas kemana-mana. Sukur-sukur semua bisa memahami kondisi Pak Eko. Sembari mohon bimbingan untuk kita semua agar bisa menjaga etika yang baik, supaya kita bisa saling asuh dan supaya tidak lagi ada yang terpikir mengambil hak orang lain.."

"Baik Mba, Siap. Terimakasih sudah legowo atas kasus malam ini Mba, "

(Selesai)..

Comments

Popular posts from this blog

Otw 2 tahun

Gadget

Masa Pandemi 🥺