Tindik

Tsuroyya (Aya), putri kecil kami nyaris tak pernah menangis. Tidurnya begitu lama sampai saya harus membangunkannya pada jam menyusui.

Jika hendak menginformasikan sesuatu, misal ia pipis atau BAB, ia hanya mengeluarkan suara mirip tangisan, tapi bukan menangis.

Katanya bayi seringkali mengeluarkan suara tangis sebagai alat komunikasi, tapi bukan disebabkan emosi.

Tapi hari itu, usianya baru tiga pekan ketika kami mengajaknya ke bidan untuk cukur dan tindik.

Untuk pertama kali kudengar tangisnya memecah saat proses tindik. Hati terasa ngilu setelah malam-malam terlewati tanpa mendengarnya merintih.

Saya ikut menangis mendegar suara mungil itu teriak-teriak kesakitan dengan volume maximal sampai suaranya nyaris lindap, mungkin saking tingginya rasa sakit yang hendak ia keluarkan lewat tangis.

Begitu proses tindik usai, bidan menyerahkan bayi mungil berbalut bedong biru pada saya untuk disusui.

Hati saya makin nyeri rasanya melihat Aya hanya diam, matanya yang basah terpejam. Tangisnya mereda, tapi sesekali masih sesenggukan.
Kuciumi ia dan hendak memberinya Asi, tapi ia diam saja. Mungkin sudah kenyang setelah sebelumnya saat cukur ia sekalian menyusu.

Ah, bayi mungil ini... Rupanya begini rasanya jadi Ibu. Tak ingin ada apa pun yang melukainya.
Tak rela ada sesuatu yang menyakitinya.

Setelah lama dalam dekapanku, ia kemudian digendong Ayahnya,

"Ya begitu nduk hidup itu, kadang harus menangis, nanti tersenyum lagi..." Kata Ayah Aya padanya.

Dan ia masih diam, seolah tak pernah terjadi apa-apa...

Comments

Popular posts from this blog

Masa Pandemi 🥺

Gadget

Otw 2 tahun