Melahirkan 2

"Aku tak ingin mengalami trauma setelah bersalin. Aku ingin mengalami kenangan yang indah dan menyenangkan karena kehadiran bayi dalam kehidupan rumah tangga kami adalah sebuah keajaiban yang pantas dirayakan dengan sukacita. Aku ingin senyum, kasih dan cinta kukenalkan kepada bayiku ketika dia pertama kali melihat dunia ini. Untuk itu, aku ingin merencanakan semuanya dengan matang," (Buku Bebas Takut Hamil Dan Melahirkan)

Sepanjang perjalanan hamil, saya berusaha membekali diri dengan banyak searching informasi terkait hamil dan melahirkan. Utamanya hal yang berkaitan tentang gentle birth. Melahirkan dengan proses se-alami mungkin.

Mulai dari stalking IG, Web dan youtube bidan kita. Memantau informasi perkembangan janin di aplikasi halo bumil. Menyimak postingan di group Ibu Hamil Indonesia. Dan menanyakan tiap gejala apapun di aplikasi alodokter. 

Untungnya alodokter juga memfasilitasi konsultasi dengan spesialis hanya dengan bayar 15.000. Saya menggunakannya sekali untuk meminta dibuatkan menu oleh dokter gizi saat sedang berjuang menaikkan HB. 

Selain semua pendukung di atas, saya juga rutin melakukan cek. Di puksesmas, di bidan dan di rumah sakit untuk konsultasi dokter dan USG di tiap trimesternya. 

Tentang hamil dan melahirkan, bagiku ini adalah hal yang samasekali baru. Bukan saja karena saya anak pertama yang belum begitu memiliki gambaran tentang bagaimana dunia bumil, juga karena sebelumnya saya juga tidak begitu banyak menyimak pengalaman orang-orang kecuali hanya selayang pandang. 

Di IG bidankita, selalu diingatkan betapa pentingnya pemberdayaan diri sedini mungkin. Membekali diri dengan pengetahuan dan tentu menyiapkan fisik. 

 Meski tentu akan ada banyak kekurangan sana-sini, tapi bagi orang awam sepertiku, banyak membaca informasi tentu akan lebih membawa dampak positif ketimbang tidak samasekali. 

Bu Yesie, pemilik akun Bidankita bilang, 
"Anda mungkin tidak punya banyak pilihan terhadap apa yang akan anda terima dan alami. Namun anda punya banyak pilihan untuk memberdayakan diri, menyiasati dan mengupayakan yang terbaik,"


***

Jadilah saya tiap fasenya, berusaha mencari informasi dari akun atau web-web dan aplikasi terpercaya. Mulai dari soal asupan, lalu hal-hal positif yang bisa dilakukan saat hamil atau ketika bayi sudah bisa mendengar, mempersiapkan ASI, mengatisipasi agar bayi tidak lahir pre-mature, cara mengatur berat badan, tentang latihan pernapasan, Optimalisasi posisi janin dsb.

Saya berusaha sebisa mungkin menerapkan apa yang disarankan secara berkala oleh bu Yessie di akun bidankita. Jalan pagi, berusaha menjaga ketenangan hati, latihan meditasi (Saya ganti dengan fokus dzikir), memberikan afirmasi-afirmasi positif, melakukan hal-hal yang disukai dan yang menambah hormon kebahagiaan. Etc.

Selain wacana umum, saya bekali pula masa hamil ini sesuai dengan yang disarankan poro guru. Fullkan interaksi dengan Qur'an dan berbagai amalan-amalan untuk membekali calon manusia sejak dalam kandungan. 

***
Dua pekan jelang melahirkan, ditemani suami, saya menyelesaikan tahapan akhir Birth Plan di Ibu Alam. Kami memilih paket surat Maryam yang menjadi salah satu opsi paket persalinan di Ibu alam. Jadi harus ada agenda setoran ke bidan jaga. 

Usai setoran dan fix-kan birth plan. Kami banyak ngobrol dengan bu Bidan terkait melahirkan. Sebelum setoran, beliau memang sempat membantu proses melahirkan pasien. Rasa sakit jelang melahirkan membuat si Ibu teriak-teriak sebelum akhirnya bayi laki-laki terlahir dan kami mendengar tangis bayi dengan perasaan penuh harap, tak berapa lama lagi hal yang sama akan kami alami.

"Maryam pun merasakan perjuangan ini, ini jihadnya wanita, perontok dosa," Kata beliau setelah menceritakan proses melahirkan yang baru saja terjadi. 

Dalam pandangan gentle birth, rasa nyeri menjelang melahirkan memang dipandang sebagai mekanisme alamiah tubuh untuk membantu melahirkan bayi (Buku BTHM).

Jadi bu Bidan tetap menginformasikan tentang rasa sakit yang dialami perempuan melahirkan, tetapi memperindahnya dengan semangat berjuang. 

Ya, ini kodrat dan harus dihadapi. 

***
"Gentle Birth memandang proses melahirkan sebagai proses terindah dan penuh cinta kasih sehingga sudah selayaknya dilakukan dengan nyaman. 

Sosok yang mendampingi dan mengolong pun harus memberikan kebebasan pada ibu untuk memilih cara bersalinnnya. Selama ibu dan bayi nyaman. 

Selalu mempertimbangkan minimalisasi intervensi medis. Terutama pada penggunaan obat bius karena dalam gentle birth, kita harus selalu mengedepankan dan mengupayakan serta mengandalkan reaksi alami tubuh ibu lebih dahulu. " (Buku BTHM)

***
(Sehari sebelum melahirkan)

Ba'da dzuhur, kontraksi yang saya almi semakin intens hari itu. Baju-baju dan berbagai keperluan sudah kami persiapkan, nama bayi juga sudah kami kantongi. 

Kami pun pamit pada orang tua. Saya memohon maaf pada Ibu bapak sebelum akhirnya kami beranjak menuju klinik Ibu Alam diantarkan sepupu.

Sesampainya di Ibu Alam, kontraksi terasa lagi, saya berjalan dituntun suami dan disambut bidan jaga. Kami segera diantar menuju kamar pasien yang tenang dan nyaman. Aroma terapi meruap, kipas angin dinyalakan, lantunan Qur'an juga diperdengarkan dari ruang bersalin. 

Bidan melakukan cek bukaan. Satu momen yang katanya sangat menyakitkan. Alhamdulillah tak semenyakitkan yang biasa diceritakan orang-orang.  

"Bukaan dua.." kata bidan yang kemudian menyiapkan gymball. 

Saya memainkan gymball untuk membantu proses bukaan. Suami siap siaga tiap kali saya kontraksi. 

***

Sore hari, Mb Fany, sepupu saya yang dulu sempat bekerja sebentar di Ibu Alam datang menemani. Ia memijati kaki untuk memicu kontraksi.

"Kalau masih bisa senyum berarti masih lama.." Katanya saat kontraksi reda. 

"Ya Allaaaah.... setelah ini masih ada yang lebih sakit?" 

***

Durian yang saya pesan datang. Hmm saya yang baru merencanakan induksi alami baru intens melakukannya hari itu. Entah akan bekerja maximal atau tidak, tentu saya tidak banyak berharap. 

Setelah makan durian saya justru muntah. Akhirnya kami berikan pada bidan-bidan jaga karena porsi yang kami pesan sangat banyak. 

***

Merambat malam, kontraksi masih stabil, bidan memeriksa kembali. Masih bukaan empat. 

Malam itu, malam jum'at, menjadi malam yang sangat panjang dengan diiringi kontraksi sepanjang malam. Setiap kontraksi datang, saya berharap itu kontraksi yang terakhir. 

Ibu datang mendekatiku dan mengusap kepala serta mencium keningku. Saya masih mengerang kesakitan ditemani beberapa bidan. Tubuh melemah, saya berusaha untuk tidur diantara jeda kontraksi. 

Mba Fany masih menghitung waktu jedanya, malam itu belum banyak peningkatan. 

Semakin larut, bidan-bidan mengelilingiku. Ada sekitar 5-6 bidan yang menjaga. Jika kontraksi datang, ada yang memijat, ada yang mengelus-elus, ada yang memberikan afirmasi positif dan memandu saya untuk tetap fokus pada nafas serta membiarkan rasa sakit menekan ke bawah. 

"Jangan ditahan Mba Fina.. Biarkan rasa sakitnya agar mudah bukaannya. Fokus pada nafas. Nah, begitu, pinter..." Ucapnya berkali-kali, nyaris sepanjang malam.

***

Kontraksi memang merupakan rasa nyeri dan rasa sakit yang luar biasa. Belum pernah rasanya ada rasa sakit yang menandinginya sejauh yang pernah kurasakan. 

Saya selalu ingat pesan Ibu, "Melahirkan adalah hal yang wajar, melahirkan adalah kesediaan untuk berjuang,"

Ya, rasa sakit memang terasa Masya Allah. Tapi kesediaan untuk menerimanya adalah sesuatu yang dapat menguatkan.

Apalagi tiap dengar kata bidan bahwa rasa sakit ini harus dibiarkan menekan, bukan ditahan. Saya berusaha keras mengalihkan perhatian dari rasa sakit, tapi tetap membiarkannya mengalun. 
Berdzikir kencang menjadi pilihan memecah konsentrasi, dengan terus berusaha mengondisikan hati yang tenang. 

Malam itu bukan saja malam mensahabati rasa sakit, tapi juga malam perenungan, malam doa-doa panjang, dengan dzikir serta munajat. 

"Nanti kalau pas merasakan sakit, berdoa sebanyak-banyaknya, Insya Allah mustajab," Pesan Ibu.

Saya gunakan kesempatan ini untuk banyak berdzikir, banyak meminta, berdoa dan berharap sebanyak mungkin. 

Setiap kali kontraksi datang, saya bayangkan sedang mendapat perintah perang atau jihad dari Rasulullah SAW. Jadi apapun yang saya rasakan harus saya terima dengan rela. 

Sebegitu sakitnya kontraksi, saya sampai berpikir bagaimana sakitnya sakaratul maut terjadi. Kotraksi saja seperti itu rasanya.

***

 Rasa sakit memungkinkan seseorang berpikir yang tidak-tidak. Sama seperti menghadapi kematian, menghadapi saat-saat melahirkan pun kata Ibu kita harus menguatkan Roja ketimbang khouf. 

Dzikir diperkuat, Iman ditata. Barangkali kontraksi adalah simulasi jelang kematian. 

Momen kontraksi adalah pengalaman spiritual yang mengajarkan banyak hal. Doa berkepanjangan, Keberserahan, usaha untuk bersabar, bertahan, menahan dan upaya menggenggam harapan serta upaya untuk tidak menyerah dengan mengerahkan seluruh kemampuan. 

"Ya Allah...hamba ikhlas..." Batinku mengafirmasi diri.

***

Aroma terapi menenangkan, cahaya lampu kamar dibuat redup, lantunan Qur'an dari ruang bersalin terdengar sepanjang malam. 
Berkali-kali kulirik box bayi yang disiapkan di kamar. Penuh harap membayangkan tidak lama lagi, akan ada bayi mungil yang tidur di sana setelah sembilan bulan berada dalam rahimku. Rasanya seperti tak percaya, bahwa momen ini kurasakan juga.

***
Sepertiga malam, suami bangun, lalu menemaniku menggantikan bidan-bidan jaga. Para bidan beristirahat saking lelahnya menemaniku semalaman. 

Selepas subuh, cek kembali dilakukan. Begitu ngedropnya saat bidan memberitahu, bahwa bukaan masih sama, belum ada peningkatan. 

Ya Allah.. setelah semalaman mengalami kontraksi yang seluarbiasa itu. 

Sedih, tentu saja. Saya sering mendengar yang lahiran di Ibu Alam ini cepat bukaannya. Tapi saya harus tetap tenang dan lebih bersabar lagi dengan kontraksi serta lamanya waktu bukaan. 

Bidan menyarankan agar saya jalan pagi bersama suami dengan langkah cepat. 

Usai jalan pagi, saya disarankan mandi air hangat agar perasaan lebih tenang bahagia. Rasa ini penting untuk mempercepat bukaan.

Bidan menyiapkan air, saya mandi, kemudian bersantai di depan TV. 

 Bidan-bidan mengelilingi, menawari minum coklat hangat, memijat, memandu napas saat kontraksi datang.

 Ketika saya bilang kalau saya sangat mengantuk dan butuh istirahat, saya dibawa sekalian ke ruang bersalin. 

Baju diganti dengan baju pasien, lalu saya merebah mengistirahatkan diri. Alih-alih bisa tidur, kontraksi justru semakin intens. Saya belum sarapan, kontraksi semalaman juga membuat saya semakin lemah. 

Bidan menyuapi nasi, tapi saya muntah. Membuatkan minuman kurma, tapi saya eneg. Karena takut kehabisan tenaga, akhirnya saya setuju diinfus karena sudah mendekati bukaan  sempurna.

***
Suami segera ke ruang bersalin begitu mendapat kabar dari bidan kalau bukaan saya sudah lengkap. 

Nyeri terasa berlipat-lipat. Saya mengejan tanpa bisa dikontrol. Bidan dengan halus membimbing saya agar proses mengejan dilakukan dengan baik. 

"Sakit sekali Mba..." Kutatap bidan yang menggenggam tangan kiriku lekat-lekat.

"Iya Mba, Sabar..."

"Ya Allah.. hamba menyerah, jika harus gugur saat ini, maka ini adalah hari baik, tapi bayi ini harus terlahir..." Batinku mengiringi rasa sakit yang semakin menjadi-jadi.

Allah..Allah Allah... 

Dzikir dalam hati semakin diperkuat mengiringi kontraksi dan proses mengejan. Doa-doa dan harapan terlantun berulang-ulang dalam hati. 

Suami menggenggam tangan kananku, menguatkan. 

Kutatap lekat matanya, meminta maaf padanya, dan ia lekas mencium punggung telapak tanganku. 

"Ayo Dek sedikit lagi.." katanya.

Bidan terus memberikan afirmasi positif. Wajah mereka tampak lelah, tapi berusaha untuk bersikap sangat halus. 

Para bidan siaga di sekelilingku. Ada yang menggenggam tangan, ada yang memegangi kaki, ada yang terus memberikan panduan. Yang lain menyiapkan peralatan entah apa saja.

"Kalau mengejannya masih bisa ditahan, ditahan dulu ya... Dengarkan aba-aba dari saya,"

Ya Allah saat-saat seperti itu saya masih harus mencerna dengan baik teori-teori mengejan. 

"Atau mau posisi lain?"

Saya mengingat-ingat posisi melahirkan yang disarankan di akun bidankita. Tapi tubuh saya terasa begitu lemah sehingga membiarkan posisi telentang.

Entah berapa kali saya mengejan, tapi detik-detik itu rasa sakit bercampur dengan perasaan penuh harap. 

"Udah kelihatan kepalanya Dek.. Ayo dikit lagi.." Suami semakin menyemangati. 

Saya lanjutkan mengejan, kemudian terdengar suara bayi mungil beradu dengan suara ketuban. Perasaan haru dan entah berantah menjalar begitu saja. 

"Itukah yang selama ini ada dalam rahimku?" batinku antara percaya dan tidak. Sosok mungil yang begitu kami rindukan dari bulan ke bulan. Ia mulai menjelma nyata. 

"Ayo mengejan sekali lagi..."

Saya menarik nafas kemudian mengejan mengerahkan kemampuan yang tersisa sekuat mungkin.

 Alhamdulillah bayi pun lahir sempurna, disambut  perasaan lega luar biasa.  Rasa sakit seketika hilang karena memang sudah tidak ada lagi kontraksi. 

Suami mengajak tos setelah mengucap hamdalah, kemudian mencium keningku.

Bayi mungil yang hanya menangis sebentar itu segera ditangani bidan. 

"Mas, laki-laki apa perempuan?" Tanyaku sumringah

"Sssst Embuh. Tunggu dulu." Kata suami ketika ketuban tengah disedot bidan. Bidan-bidan lain sibuk kesana kemari. Membawa air dan perlengkapan lain. Membersihkan kotoran dan darah serta bersiap menjahit perineumku.

"Perempuan Dek.."
"Alhamdulillaaaaah.."

Sebentar kemudian, bayi yang tangisannya irit itu diletakkan di dadaku. Memelukku begitu erat, merasa begitu nyaman. 

"Assalaamualaikum, Tsuroyyaaaaa..."

Ah, ini dia yang menemaniku berbulan-bulan. Yang kami doakan siang malam. Membersamai kami dengan harapan-harapan. Kami ajak ngobrol dan merespon dengan gerakan. Yang gerakannya di dalam begitu aktif. Yang tetap kuat meski Ibunya sempat pendarahan dan terperosok ke sumur. 

Ini dia darah daging kami, bagian dari diri kami, penguat cinta kami.

Tsuroyya Haunan Salama..

***

       Memang agak menyesali sebab saran bidan untuk mengikhtiari induksi alami tidak dilakukan dengan baik sehingga harus merasakan kontraksi begitu lama.

Tapi tetap kusyukuri sebab lamanya kontraksi adalah saat-saat yang intens untuk munajat, untuk memohon ampun, dan merenung.   Seperti merasakan bagaimana sakitnya menghadapi maut. Membuat semakin menyadari apa-apa yang penting dalam hidup.

Melahirkan terasa seperti mendapat kesempatan hidup ke dua. Ingin mengisi sisa hidup yang masih diberikan-Nya dengan mencari bekal-bekal jalan pulang.

Melahirkan juga momen merasakan kekuasaan-Nya, momen menyadari bahwa atas izin-Nya ternyata bisa sekuat itu bertahan. 

Ah ya, ini momen dimana kita tidak bisa lari dari apa yang diperjuangkan. Membuat jadi makin sadar bahwa dalam mencapaia apa yang dicita-citakan, seringkali kita hanya harus bertahan dan terus mengusahakan, sesulit dan sesakit apapun.

:-)

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Masa Pandemi 🥺

Gadget

Otw 2 tahun